Rabu, 03 September 2008

Iklan Politik



Iklan Mobil? Biasa. Iklan Minyak Goreng? Biasa. Iklan susu kaleng, iklan beras, iklan obat kuat? semua biasa saja. Lalu apakah ‘iklan politik’ tidak biasa?

Ya, iklan politik memang ruarrrrr biasa! Paling tidak kebiasaan itu baru dimulai pasca reformasi ini. Tak pasti apakah pada zaman sebelumnya iklan politik pernah ada. Apakah pada era Soekarno dan Soeharto pernah ada iklan politik seperti yang sekarang ini tengah marak menghiasi halaman suratkabar, majalah dan menari-nari di layar televisi.

Iklan politik, yang mengusung pesan dan profil para tokoh partai memang berseliweran tanpa henti. Bukan saja para tokoh yang akan maju bertanding di tingkat nasional, tetapi juga para tokoh yang akan maju untuk PILKADA pun ramai-ramai memanfaatkan ‘iklan politik’ untuk menjual diri dan ide-ide politiknya.

Yang ramai dibicarakan adalah kontroversi iklan politik Wiranto, bekas Panglima TNI dan Menteri Pertahanan yang sekarang memimpin Partai Hanura. Iklannya yang dua kali ditengarai menyodok langsung kubu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai sudah kelewatan. Malah beberapa pendukung SBY menilai Wiranto sudah mengabaikan etika berpolitik.

Benarkah? Tentu saja bukan iklan politiknya yang diprotes para pendukung SBY, tetapi lebih pada muatan atawa konten daripada iklan itu sendiri. Pada iklan politik Wiranto yang terakhir, ia menuding SBY tak menepati janjinya untuk tidak menaikkan harga BBM. Sementara pihak pendukung SBY mengatakan bahawa SBY tidak pernah menjanjikan bahwa pemerintah tidak akan pernah menaikkan harga minyak. Kemudian beberapa televisi menyanjikan fakta dokumentasi ketika pada bulan Oktober 2007 lalu Presiden mengatakan akan mencari jalan lain dan tidak akan menaikkan harga BBM.

Jadi? Biarlah rakyat yang menilai.

Masalahnya apakah iklan politik lazim digunakan? Menurut pakar politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit, iklan politik serupa itu memang wajar digunakan di pelbagai negara. Malah di Amerika Serikat hal itu biasa dilakukan. Masalahnya, di Indonesia, iklan politik kadang menjerumuskan rakyat untuk memilih tokoh yang memiliki popularitas tinggi tanpa mengenali kapasitas sebenarnya tokoh tersebut. “Lewat iklan itu, masyarakat hanya diajak memilih orang yang populer. Ini menjebak rakyat karena pemimpin tidak cukup hanya populer. Dia harus mempunyai pengalaman dan teruji,” kata Arbi Sanit.

Di era pemilihan langsung ini popularitas memang mutlak diperlukan. Rengoklah ke belakang. SBY sukses melaju ke istana berkat popularitasnya yang tinggi. Padahal SBY hanya diusung oleh partai gurem. Memang SBY berkongsi dengan Jusuf Kalla yang saudagar kaya raya dan didukung partai Golkar. Tetapi tak disangakal bahwa popularias SBY lah yang mengantarnya ke kursi presiden.

SBY juga rajin memaintain popularitasnya, dengan menyanyi, mencipta lagu, tebar pesona kesana-kemari. Sampai-sampai banyak yang menuduh acara peringatan 100 tahun kebangkitan bangsa di Stadion Gelora Bung Karno adalah ajang SBY memupuk popularitasnya. Di acara itu, salah satu pendukung acara memperkenalkan lagi baru ciptaan SBY.

Yang gencar mengiklankan diri adalah Sutrisno Bachir, ketua Partai Amanat Nasional. Memang tidak terindikasi Sutrisno Bachir akan bertanding menuju kursi RI-1 2009 nanti. Tapi iklannya yang bertubi-tubi di media cetak maupun elektronik memang lkuar biasa. Populkaritasnya, juga partainya juga beranjak naik. Kampanyenya yang mengutip puisi Chairil Anwar sunggu mengena untuk kampanye politik. Sutriso Bachir dan PAN patut diacungi jempol karena selangkah lebih maju dalam cara beriklan politik.

Tidak ada komentar:

Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing